Menghidupkan Ruh Pendidikan

Oleh: Dede Ruba’I Misbahul Alam, M.Pd.

Sejak 2.500 tahun yang lalu, Socrates telah berkata bahwa tujuan yang paling mendasar dari pendidikan adalah untuk membuat seseorang menjadi good and smart. Dalam sejarah Islam, sekitar 1.400 tahun yang lalu, Rasulullah Saw. juga menegaskan bahwa misi utama beliau adalah untuk menyempurnakan akhlak. Berikutnya, ribuan tahun setelah itu, rumusan utama pendidikan pun masih tetap pada wilayah yang sama, yaitu pembentukan kepribadian manusia yang baik. Tokoh pendidikan Barat seperti Klipatrick dan Lickona kemudian menggemakan kembali gaung yang disuarakan Socrates dan Rasulullah, bahwa moral atau karakter adalah tujuan yang tidak bisa dihindarkan dari dunia pendidikan. Marthin Luther King bahkan mengatakan, “Intelegence plus character, that is the true aim of education” (Majid dan Andayani, 2010).

Namun, seiring dengan bergulirnya waktu dan bangkitnya logika positivisme yang menolak kebenaran metafisik serta kebenaran moral (benar atau salah), pendidikan moral dari pendidikan pun kemudian tenggelam. Begitu pun dengan logika relativitas moral (yang menganggap semua orang dan semua golongan benar tergantung kepada sudut pandang masing-masing), telah berpengaruh kepada paham personalisme dan pluralisme yang menyatakan setiap individu bebas untuk memilih nilai-nilainya sendiri. Sementara itu, sekularisasi masyarakat pun telah menumbuhkan ketakutan untuk mengajarkan moralitas di sekolah—karena khawatir dianggap sebagai pengajaran agama.

Kondisi tersebut akhirnya mengakibatkan pendidikan semakin terpuruk. Implikasinya, pendidikan kita belum berhasil mengangkat martabat bangsa dari keterpurukan nilai-nilai moral. Padahal, institusi-institusi pendidikan kita saat ini memiliki fasilitas yang cukup maju. Fenomena tersebut disebabkan visi dan misi pendidikan yang mengarah kepada terbentuknya manusia yang beradab sudah diabaikan dalam pendidikan.

Keterpurukan tersebut kemudian menyebabkan krisis nilai bangsa. Thomas Lickona, seorang profesor pendidikan dari Cortland University, telah mengungkapkan, ada sepuluh tanda zaman yang harus diwaspadai. Jika kesepuluh tanda tersebut telah ada, sebuah bangsa akan menuju kehancuran. Kesepuluh tanda tersebut adalah: (1) meningkatnya kekerasan di kalangan remaja (2) penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk (3) pengaruh peer group yang kuat dalam tindakan kekerasan (4) maraknya penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas, (5) semakin buruknya pedoman moral baik dan buruk (6) menurunnya etos kerja (7) semakin rendahnya rasa hormat terhadap orang tua dan guru (8) rendahnya tanggung jawab individu dan warga negara (9) membudayanya ketidakjujuran (10) adanya saling curiga dan kebencian antarsesama (Megawangi: 2004, 7-10).

Oleh karena itu, tujuan yang harus dicapai oleh pendidikan adalah hal yang bernilai. Karena, nilai berfungsi sebagai penggerak pendidikan. Ia seperti jantung yang memompa darah ke seluruh bagian tubuh. Dengan demikian, tujuan utama pendidikan adalah untuk menghasilkan kepribadian manusia yang matang secara intelektual, emosional, dan spiritual. Karena itulah, komponen esensial manusia adalah nilai (values) dan kebajikan (virtues, Sauri, 2010).

Dalam bukunya The Concept of Education in Islam (1980), Al-Attas menegaskan bahwa pendidikan harus mampu menanamkan kebaikan ataupun keadilan dalam diri manusia sebagai individu, bukan hanya sebagai seorang warga negara ataupun anggota mayarakat. Yang perlu ditekankan dalam pendidikan adalah nilai manusia sebagai manusia sejati, sebagai warga kota, sebagai warga negara dalam kerajaannya yang mikro, sebagai sesuatu yang bersifat spiritual. Dengan demikian, nilai manusia, bukanlah entitas fisik yang ditukar dalam konteks pragmatis dan utilitarian berdasarkan kegunaannya bagi negara, masyarakat, dan dunia.

Untuk itulah, adab dan akhlak yang menjadi ruh pendidikan harus dihidupkan kembali. Selain itu, pendidikan Islam pun harus mengisolir pandangan hidup sekular-liberal yang ada dalam setiap disiplin ilmu pengetahuan modern saat ini. Ketika perubahan secara islami (dalam kurikulum, lingkungan, visi, dan misi) terjadi, pendidikan Islam akan membebaskan manusia dari kehidupan sekular menuju kehidupan yang berlandaskan ajaran Islam. Dari pendidikan seperti itulah, manusia yang baik dan beradab akan lahir. Individu-individu seperti itu adalah manusia yang menyadari tanggung-jawabnya terhadap Tuhannya, memahami dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya kepada dirinya dan yang lain dalam masyarakatnya, serta berupaya terus-menerus untuk mengembangkan setiap aspek dari dirinya menuju kemajuan sebagai manusia yang bermoral.

Namun, hal di atas tentu saja bukan pekerjaan yang mudah. Ia merupakan kerja berat yang memerlukan “skill tinggi”, terutama “skill” para pendidik. Secara sederhana, “skill” tersebut adalah adab. Dengan demikian, pendidikan Islam membutuhkan para pendidik yang memiliki kualitas adab yang tinggi. Sebab, bisa jadi, hilangnya adab dalam pendidikan (yang kemudian hanya melahirkan generasi-generasi lemah), akar penyebabnya ada dalam diri pendidik terlebih dahulu.

Pendidik yang memiliki adab adalah pendidik yang selaras ilmu dan amalnya serta ucapan dan perbuatannya. Hidupnya menjadi anutan karena ilmu dan amalnya yang selaras. Ia bagaikan ulama yang didaulat oleh Rasulullah sebagai pewaris ajaran para Nabi. Karena memiliki kualitas adab tinggi, pendidik yang seperti itu pun mampu mengidentifikasi tantangan-tantangan zaman dan memberikan bekal ilmu kepada anak didik untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut. Tentu saja, bekal yang dihadapi bukan hanya “bekal psikomotorik” yang melihat manusia dari sisi sekular saja. Sebab terbukti, bekal seperti itu hanya mengajarkan manusia untuk rakus terhadap dunia (al-wahn). Inilah akar permasalahan yang mengakibatkan pendidikan kita hanya melahirkan generasi yang tidak berakhlak. Tidak aneh jika narkoba, free sex, korupsi, tawuran, dan lain-lain tidak pernah hilang dari kehidupan masyarakat kita. Termasuk ketika perbuatan-perbuatan tersebut sering dilakukan oleh anak bangsa yang sedang dididik di tempat yang bernama pendidikan.

Menciptakan pendidikan yang penuh dengan nilai-nilai adab tentu saja bukan pekerjaan mudah. Terutama pada zaman sekarang ketika manusia telah dipenjara oleh tujuan-tujuan sekular. Namun, meskipun tidak mudah, ia adalah hal esensial yang harus dilakukan dalam pendidikan. Jika tidak dilakukan, praktik pendidikan yang kita lakukan hanya menyentuh kulit. Ia tidak akan pernah menyentuh ruh yang menjadi jantung pendidikan. Jika ruh pendidikan hilang, anak didik yang dibentuk dalam pendidikan pun akan menjadi manusia yang kehilangan ruh. Padahal, Al-Quran telah menjelaskan, jika ruh telah hilang, manusia tidak ubahnya bagaikan hewan. Bahkan, lebih hina daripada hewan. Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi Neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak digukan untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak digunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak digunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Meraka itulah orang-orang yang lalai (QS. 7:179). Wallahu a’lam bish-shawwab


Tinggalkan komentar