Monthly Archives: April 2012

Ulama

Oleh: Arif Munandar Riswanto

Berbicara tentang ulama adalah berbicara tentang peran dan kedudukan penting di dalam ajaran Islam. Disebut penting karena banyak hal fundamental yang hanya diberikan oleh Allah dan Rasulullah kepada ulama tetapi tidak diberikan kepada yang lain—termasuk kepada umara. Ulama didaulat oleh Rasulullah sebagai satu-satunya “kelompok” manusia yang meneruskan risalah perjuangan para Nabi. Ulama pun memiliki kedudukan istimewa di hadapan Allah sebagai satu-satunya kelompok manusia yang memiliki derajat tinggi (QS 58: 11). Bersama Allah dan para malaikat, ulama memberikan kesaksian tentang keesaan Allah (QS 3: 18). Bahkan, ulama kemudian dijamin oleh Allah sebagai satu-satunya kelompok manusia yang takut kepada-Nya (QS 35: 28). Lalu, siapakah ulama itu?

Ulama adalah bentuk jama’ dari kata ‘alim. Sedangkan kata ‘alim adalah isim fa’il dari kata ‘ilm (ilmu). Jadi, berbicara tentang ulama adalah berbicara tentang ilmu. Secara sederhana, ulama adalah orang yang memiliki ilmu. Jika ulama adalah orang yang memiliki hubungan erat dengan ilmu, kita kemudian bertanya, apakah ilmu itu?

Banyak definisi yang menjelaskan tentang makna ilmu. Al-Jurjani dalam At-Ta’rifat menjelaskan beberapa definisi ilmu. Di antara definisi yang dijelaskan olehnya adalah “Keyakinan pasti yang sesuai dengan kenyataan,” “Mendapatkan gambaran sesuatu di dalam akal,” “Mengetahui sesuai dengan benar,” “Hilangnya kesamaran dari yang diketahui,” “Datangnya jiwa kepada makna sesuatu.”

Hal yang menarik adalah definisi yang dijelaskan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Al-Attas menjelaskan bahwa ilmu adalah, “Tibanya makna ke dalam diri dan tibanya diri ke dalam makna.” Namun, menurut Al-Attas, definisi ilmu tersebut (yang mengakibatkan pengenalan/recognition) tidak akan bermanfaat jika tidak disertai dengan pengakuan (acknowledgement). Dalam bahasa sederhana, pengakuan adalah amal saleh. Sebab, pengenalan tanpa pengakuan adalah kebodohan (jahil). Sedangkan pengakuan tanpa pengenalan adalah kesombongan (seperti iblis). Inilah yang menjadi alasan mengapa dalam banyak ayat Allah senantiasa menyandingkan iman dengan amal saleh.

Islam telah menerangkan peran dan kedudukan ilmu dengan sangat jelas. Makna, sumber, hierarki, saluran, jenis, hukum, pahala, dan tujuan dalam ilmu telah sangat gamblang diterangkan oleh Islam. Bahkan, Islam pun telah menjelaskan tentang niat, doa, dan adab dalam mencari ilmu. Itulah yang menjadi alasan banyak ulama yang menulis buku tentang ilmu. Tidak berlebihan jika disebutkan bahwa tradisi seperti itu hanya ada dalam agama Islam.

Salah Memahami Ilmu

Al-Attas pernah menjelaskan bahwa tantangan terbesar yang dihadapi oleh umat Islam pada zaman sekarang adalah tantangan ilmu. Namun, tantangan ilmu tersebut bukan berarti tantangan melawan buta huruf, tetapi tantangan dalam bentuk ilmu-ilmu sekular yang datang dari peradaban Barat. Ilmu-ilmu sekular tersebut kemudian menguasai akal dan pendidikan umat Islam. Al-Attas menulis, “I venture to maintain that the greatest challenge that has surreptitiously arisen in our age is the challenge of knowledge, indeed, not as against ignorance; but knowledge as conceived and disseminated throughout the world by Western civilization.”

Tantangan ilmu adalah tantangan ulama. Sebab, hanya ulama yang bisa menjawab tantangan ilmu. Namun, yang jadi pertanyaan kita, apakah orang-orang yang selama ini disebut “ulama” menyadari tantangan tersebut?

Kita tidak bisa menafikan, akibat sekularisasi yang terjadi pada akal umat Islam, banyak umat Islam yang salah memahami ilmu. Lebih parahnya lagi, kesalahan tersebut kemudian diterapkan dalam sistem pendidikan. Inilah yang mengakibatkan peradaban Islam masih terpuruk sampai saat sekarang. Padahal, setiap tahun perguruan-perguruan tinggi banyak meluluskan ahli-ahli dalam bidang kedokteran, politik, ekonomi, psikologi, pendidikan, linguistik, seni, dan lain sebagainya.

Salah satu kesalahan paling fatal yang terjadi pada akal umat Islam adalah ketika ilmu dipahami sebatas sains saja. Padahal, anggapan tersebut adalah keyakinan khas masyarakat Barat yang memiliki kebencian terhadap agama. Keyakinan seperti itu telah mengeliminasi wahyu sebagai salah satu sumber ilmu dan hanya menganggap panca indera sebagai satu-satunya alat paling absah untuk mendapatkan ilmu. Dugaan dan keraguan kemudian dianggap sebagai satu-satunya metode yang absah dalam mendapatkan ilmu. Padahal, dugaan dan keraguan bertentangan dengan hakikat dan makna ilmu. Sebab, hakikat ilmu yang sebenarnya adalah harus memberikan keyakinan dan kebenaran, bukan keraguan dan kebingungan.

Tidak aneh jika anak didik yang dilahirkan dari ilmu dan pendidikan seperti itu akan menjadi individu yang penuh kebingungan. Ilmu-ilmu sekular yang lebih menitikberatkan kepada skil-skil psikomotorik kemudian dianggap sebagai ilmu paling mulia.

Kesalahan fatal selanjutnya pada akal umat Islam modern adalah ketika “ilmu Islam” hanya dibatasi pada ilmu-ilmu fiqih. Memang betul, ilmu fiqih termasuk salah satu cabang ilmu hasil kreasi para ulama. Namun, ia hanya salah satu cabang saja, bukan segala-segalanya. Ada banyak permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh umat Islam tetapi tidak bisa dijawab dengan fiqih.

Akibat yang keliru dalam memahami ilmu, kita sering menisbatkan ulama kepada orang-orang yang ahli dalam bidang fiqih saja. Padahal, kalau kita renungkan ayat-ayat Allat tentang kedudukan ulama, seluruh ayat tersebut justru menerangkan “dimensi spiritual” dalam ilmu (seperti takut kepada Allah dan memberikan kesaksian tentang keesaan Allah), bukan dimensi fiqih. Inilah yang kemudian disayangkan oleh Al-Attas. Menurut Al-Attas, pandangan seperti itu pada hakikatnya memerosotkan makna ilmu. Lihat saja para ulama kita dahulu. Apakah Al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, Ibnu Rusyd, Imam Haramain, Ibnul Jauzi, Al-Khathib Al-Bahgdadi, Ibnu Hazm, Abul Hasan Al-Asy’ari, Asy-Syahrastani, Al-Biruni, Ibnul Atsir, Al-Khawarizmi, dan lain sebagainya bukan ulama sebab mereka tidak hanya menulis fiqih tetapi menulis juga filsafat, tasawuf, ilmu kalam, mantik, kedokteran, perbandingan agama, dan sejarah?

Jika dikaitkan dengan dunia pendidikan, sungguh indah pesan Rasulullah tentang kedudukan ulama sebagai pewaris ajaran para nabi. Pesan tersebut erat kaitannya dengan guru. Guru sebagai sosok pendidik seharusnya adalah sosok ulama juga. Sebab, ia memiliki “profesi” yang ada kaitannya dengan ilmu. Namun, saya yakin, selain kualitas untuk menjadi ulama sangat jauh, banyak guru yang tidak memiliki pemikiran seperti itu.

Hal tersebut belum ditambah dengan tujuan-tujuan sekular yang ada dalam benak para guru. Tujuan dari “profesi” guru adalah mendapatkan gaji besar, menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan telah disertifikasi oleh negara (bukan oleh guru). Aktifitas guru pun seolah-olah seperti karyawan dalam sebuah perusahaan yang bernama sekolah. Pergi pagi dan pulang sore. Tidak lebih dan tidak kurang. Guru seperti itu banyak yang berhenti dalam mencari ilmu. Jangankan untuk melakukan riset dan membuat karya ilmiah, untuk membaca saja banyak yang malas. Akibatnya, ilmunya tidak bertambah.

Tujuan-tujuan sekular yang menggerogoti dunia pendidikan pun akhirnya menjadi inti yang harus dilakukan guru. Manusia seperti itu tentu saja sangat jauh jika harus diidentikan sebagai pewaris ajaran para nabi. Terlebih lagi manusia yang memiliki rasa takut kepada Allah. Al-Ghazali menyebut orang-orang seperti itu sebagai ulama dunia (‘ulama dunya), yaitu “Ulama buruk yang tujuan dari ilmu yang dimilikinya adalah untuk mendapatkan kesenangan dunia, jabatan, serta kedudukan.”

Kehilangan fungsi ulama dalam kehidupan sama dengan kehilangan fungsi para nabi. Jika hal tersebut terjadi, yang menjadi pemimpin dalam kehidupan adalah orang-orang bodoh yang sesat dan menyesatkan. Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menghilangkan ilmu dengan cara mencabutnya dari manusia. Namun, Allah akan menghilangkan ilmu dengan mencabut (mematikan) ulama. Hingga ketika tidak ada orang berilmu, manusia akhirnya mengambil pemimpin-pemimpin bodoh. Mereka (pemimpin-pemimpin bodoh) tersebut kemudian ditanya (oleh orang-orang). Mereka (pemimpin-pemimpin bodoh) tersebut kemudian memberikan fatwa. Namun, mereka sesat dan menyesatkan” (HR Al-Bukhari). Jika ulama telah tiada, siapa yang akan memberikan petunjuk dalam kehidupan ini? Wallahu a’lam