Monthly Archives: Mei 2011

Baitul Hikmah

Oleh: Arif Munandar Riswanto

 Seluruh orang tahu bahwa umat Islam pernah mengalami kejayaan peradaban. Baghdad dan Andalusia (Cordoba) adalah contoh paling nyata kegemilangan tersebut. Kegemilangan tersebut terjadi karena umat Islam mampu membangun tradisi ilmu yang kuat. Dari tradisi ilmu-lah, umat Islam mampu tampil menjadi pemimpin peradaban dunia. Dan, salah satu tempat tradisi ilmu yang dibangun oleh umat Islam adalah perpustakaan.

Pada masa Abbasiyyah, Baghdad adalah menara ilmu pengetahuan. Di sanalah berdiri perpustakaan yang sangat megah. Kelak, perpustakaan tersebut dikenal dengan Baitul Hikmah.  Kondisi tentang Baitul Hikmah telah ditulis dengan sangat baik oleh Dr. Khidhr Ahmad Athallah, dalam bukunya yang berjudul Bait Al-Hikmah fi ‘Ashr Al-‘Abbasiyyin (Kairo: Dar Al-Fir Al-‘Arabi). Buku yang pada asalnya berupa disertasi tersebut menjelaskan dengan detil bagaimana Baitul Hikmah benar-benar telah membuat peradaban Islam menjadi peradaban yang disegani oleh seluruh bangsa.

Baitul Hikmah pertama kali dibangun oleh Harun Ar-Rasyid. Usaha Ar-Rasyid tersebut kemudian diteruskan oleh anaknya, Al-Makmun. Pada waktu itu, Baitul Hikmah adalah bangunan yang terdiri dari berbagai ruangan. Setiap ruangan terdiri dari tempat buku (khazanah) yang diberi nama sesuai nama pendirinya—seperti Khazanah Ar-Rasyid dan Khazanah Al-Makmun. Bangunan yang menyatu dengan istana khalifah itu pun memiliki berbagai divisi. Ada divisi untuk menyimpan buku, menerjemah, mencetak, menulis, menjilid, dan meneliti. Singkatnya, Baitul Hikmah benar-benar menjadi tempat ilmu pengetahuan yang sangat berharga.

Bahkan, dalam perjalanannya, tempat tersebut bukan hanya berupa “gudang” buku—sebagaimana terjadi pada perpustakaan zaman sekarang, tetapi berubah menjadi universitas (al-jami’ah). Dari tempat tersebut, lahir berbagai riset dan karya ilmiah yang sangat berharga. Bahkan, tempat tersebut pun menjadi tempat observasi bintang.

Baitul Hikmah akhirnya menjadi tempat berkumpul para peneliti, ilmuan, serta pencari ilmu dari berbagai tempat dan berbagai negara. Ibnu Sina, Ibnu Nadim, Abu Yusuf, Al-Baladzari, dan lain-lain adalah ilmuwan-ilmuwan besar yang “meramaikan” Baitul Hikmah.

Bahkan, Baitul Hikmah kemudian menjadi tempat berkumpulnya bermacam-macam profesi. Dari mulai ilmuwan, tukang cetak, sampai tukang jilid berkumpul di sana. Tentu saja, aktivitas tersebut akan menciptakan sebuah industri. Bahkan, dari sinilah, umat Islam menjadi pencetus industri kertas dan percetakan.

Berbagai cabang ilmu—filsafat, kedokteran, matematika, astronomi, sejarah, geografi, musik, ilmu kalam, mantik, kimia, dan lain-lain—dipelajari di Baitul Hikmah. Para mahasiswa yang telah mempelajari ilmu-ilmu tersebut dianggap sebagai sarjana yang telah lulus dari Perguruan Tinggi.

Para guru yang mengajar di sana pun mengenakan pakaian khusus. Abu Yusuf kemudian memberikan saran agar para guru memakai sorban hitam dan pakaian luar (thailasan) seperti toga. Akhirnya, semenjak itu, pakaian tersebut menjadi simbol dosen-dosen yang mengajar di Baitul Hikmah. Dari keadaan yang seperti itu kita bisa mengukur sejauh mana kualitas dan peran penting Baitul Hikmah.

Aktivitas penerjemahan dari bahasa-bahasa non-Arab kepada bahasa Arab betul-betul mencapai puncaknya. Berbagai cabang ilmu yang ditulis dalam bahasa Persia, Yunani, Syriac, Sansakerta, dan lain-lain diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Dari aktivitas pernerjemahan itulah, karya-karya intelektual banyak diselamatkan. Umat Islam menjadi aktor utama dalam proses penyelamatan tersebut. Bahkan, untuk merealisasikan usaha tersebut, Al-Makmun membuat sekolah yang khusus melahirkan lulusan-lulusan penerjemahan. Sahal bin Harun adalah direktur sekolah tersebut.

Selain hal-hal di atas, Baitul Hikmah pun berfungsi sebagai tempat untuk berdiskusi dan berdebat. Berbagai cabang ilmu didiskusikan di sana. Bahkan, karena banyak non-muslim yang datang, Baitul Hikmah pun menjadi tempat berdebat dan berdiskusi tentang masalah-masalah teologis dalam agama. Seluruh diskusi dan debat tersebut dilakukan dalam iklim yang sangat ilmiah dan toleran.

Keadaan seperti itu ditambah dengan perhatian khalifah yang sangat besar terhadap ilmu. Bahkan, jika Al-Makmun membuat perjanjian dengan raja-raja Romawi,  hal pertama yang menjadi syarat perjanjian Al-Makmun adalah agar raja-raja tersebut mengirimkan buku-buku kepadanya. Sebagaimana yang dilakukan oleh Al-Makmun kepada Michael III, raja Romawi ketika itu. Atas permintaan Al-Makmun, raja tersebut pernah mengirimkan seluruh koleksi buku yang ada di Konstantinopel. Di antara tumpukan buku tersebut ada buku Ilmu Astronomi karya Ptolemy. Melihat buku tersebut, Al-Makmun kemudian memerintahkan untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab. Di antara para penerjemah terkenal ketika itu adalah, Al-Hasan bin Sahal, Ahmad bin Yahya bin Jabir Al-Baladzari, Abu Hafsh Umar bin Al-Farkhan Ath-Thabari, Al-Hajjaj bin Yusuf bin Mathar, Hunain bin Ishaq.

Buku-buku yang ada di Baitul Hikmah kemudian menjadi referensi utama para ilmuwan Muslim. Ketika menulis master piece-nya, Al-Fihrist, Ibnu Nadim menjadikan buku-buku yang ada di Baitul Hikmah sebagai referensi. Hal tersebut dibuktikan ketika dia menulis tentang Al-Qalam Al-Humairi di dalam Al-Fihrist.

Ilmu adalah hal yang menyebabkan umat Islam dihormati dan disegani oleh masyarakat dunia. Karena ilmu, umat Islam menjadi umat yang mampu membangun peradaban tinggi. Dan, tempat ilmu paling ideal adalah perpustakaan.

Kegiatan yang dilakukan oleh Baitul Hikmah pasti membutuhkan dana yang tidak sedikit. Terlebih lagi, Baitul Hikmah menjadi tempat berkumpulnya para ilmuwan nomor satu. Lalu, berapa “gaji” yang diterima oleh seluruh elemen yang meramaikan Baitul Hikmah?

Menurut Dr. Khidhr Ahmad Athallah, pegawai-pegawai yang bekerja sebagai pengangkut buku-buku saja digaji sebesar lima ratus dinar setiap bulan. Sedangkan para pencetak buku diberi gaji sebesar dua ribu dinar. Bayaran lebih besar diterima oleh para penerjemah. Untuk para penerjemah, Al-Makmun selalu menimbangnya dengan mas. Bahkan, bukan hanya berupa materi, Al-Makmun pun kemudian menyerahkan beberapa anaknya untuk dididik dan diajar langsung oleh para ilmuwan yang ada pada saat itu. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa ada kedekatan antara penguasa dan ilmuwan.

 

Perpustakaan Umat Islam Masa Kini

Jika perpustakaan memiliki peran yang sangat penting dalam membangun peradaban, kita harus bertanya, apakah pada zaman sekarang umat Islam sudah memiliki perhatian yang sangat besar terhadap perpustakaan? Persis seperti yang dilakukan oleh umat Islam pada zaman kegemilangan peradaban?

Saya kira, semua orang tahu, bahwa pada zaman sekarang, umat Islam tidak memiliki perhatian yang sangat besar terhadap perpustakaan. Jika kita melihat seluruh institusi pendidikan yang digarap oleh umat Islam—dari mulai tingkat dasar sampai tingkat tinggi—hampir seluruh perpustakaan berupa bangunan yang tidak terawat. Ironisnya, masih banyak lembaga pendidikan Islam yang tidak memiliki perpustakaan. Kalaupun memiliki perpustakaan, biasanya ia menjadi tempat yang paling tidak terawat. Posisinya ada di lokasi paling ujung, ruangannya berantakan, pintunya jarang dibuka, dan debu ada di mana-mana. Akibatnya, ia menjadi tempat yang paling jarang dikunjungi. Keadaan seperti itu belum ditambah dengan koleksi buku yang sangat minim. Dengan demikian, bagaimana mungkin umat Islam akan maju jika perhatian terhadap ilmu masih kurang. Jangankan membaca karya-karya besar para ulama, untuk sekadar menyentuh dan mengenal judulnya saja, kita sudah sangat abai.

Hal yang lebih memprihatinkan adalah ketika kondisi tersebut justru harus terjadi di Perguruan Tinggi Islam. Sudah menjadi rahasia umum jika hampir seluruh Perguruan Tinggi Islam tidak pernah memerhatikan pentingnya perpustakaan. Hal yang sering diperhatikan oleh Perguruan Tinggi justru masalah bangunan fisik. Ia masih berlomba-lomba untuk membuat bangunan fisik yang megah. Namun, ketika melihat perpustakaan, kondisinya masih sangat memprihatinkan.

Ketika bergelut dalam dunia pendidikan, umat Islam pun masih sering dibuat pusing untuk membangun kelas dan sarana-sarana sekunder lainnya. Padahal, selama ada guru dan ilmu, belajar bisa dilakukan di mana saja—sebagaimana yang dilakukan oleh para ulama dahulu. Terlebih lagi, kelas biasanya digunakan hanya beberapa jam. Selebihnya, ia akan ditinggalkan menjadi ruangan kosong.

Padahal, jika melihat Baitul Hikmah, tradisi pertama yang dibangun adalah tradisi ilmu—bukan bangunan fisik. Bahkan, ketika Baitul Hikmah telah berubah menjadi pusat ilmu, secara otomatis ia menjadi universitas. Dari perpustakaan-lah universitas kemudian berdiri. Berbeda dengan zaman sekarang, perpustakaan justru harus berdiri jika lembaga pendidikan telah berdiri terlebih dahulu. Bahkan, yang lebih memprihatinkannya, banyak universitas yang sudah berdiri puluhan tahun tapi tidak pernah memiliki perpustakaan.

Keadaan seperti itu belum ditambah dengan mental umat Islam yang kurang menyimpan perhatian besar terhadap buku dan ilmu. Pada tahun 1995, Universitas Indonesia (UI) pernah membuat tim untuk melakukan penelitian tentang naskah-naskah Arab Melayu. Penelitian tersebut menemukan ada sekitar 20% dari 1500 naskah beraksara Arab Melayu di Kesultanan Cirebon hancur untuk kemudian tidak bisa dimanfaatkan lagi. Sedangkan di Kesultanan Yogya, ada sekitar 10% naskah kuno Arab-Jawa rusak. Padahal pada masa lalu, bahasa Arab-Melayu adalah bahasa pendidikan dan literasi. Bahasa tersebut kemudian menjadi salah satu bahasa Islam terbesar dan menjadi faktor yang menyatukan kepulauan nusantara.

Fenomena tersebut kemudian diperburuk dengan kebiasaan masyarakat Indonesia yang sering menjual-belikan naskah-naskah para ulama. Oman Fathurahman, Ketua Umum Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), pernah menulis di Harian Republika (11/11/2011), bahwa perdagangan naskah-naskah para ulama nusantara ke perpustakaan-perpustakaan Barat adalah “hal lumrah” yang sering terjadi. Oman, misalnya, pernah diajak oleh Annabel Teh Gallop, kepala koleksi Asia Tenggara, untuk melihat belasan manuskrip asal Aceh yang baru dibeli tahun 2004 oleh British Library dari sebuah toko buku antik di London, Arthur Probsthain. Ketika melihat naskah-naskah tersebut, Oman sangat terkejut. Karena, naskah-naskah tersebut adalah manuskti-manuskrip penting dan tidak pernah ada dalam katalog manuskrip nusantara.

Jika ingin maju dan disegani oleh masyarakat dunia, umat Islam harus membangun tradisi ilmu yang canggih. Karena dari tradisi ilmu ala Islam-lah, umat Islam akan mampu berdiri tegak menunjukkan rasa percaya dirinya (‘izzah) di hadapan masyarakat dunia. Namun, yang sekarang terjadi justru bukan seperti itu. Umat Islam selalu merasa rendah diri (inferior) di hadapan gempuran ilmu-ilmu yang datang dari Barat. Kondisi seperti itu diperburuk lagi dengan minimnya perhatian umat Islam untuk membangun tradisi ilmu. Tidak aneh, jika kemudian peradaban Islam menjadi peradaban yang tidak gemilang. Wallahu a’lam

Bahaya Agama Pelacur (Studi Kritik terhadap Buku Agama Pelacur)

Agung Aditya Subhan

Pendahuluan

Beberapa waktu lalu, penerbit Lkis bekerjasama dengan IAIN Sunan Ampel, menerbitkan sebuah buku yang berjudul Agama Pelacur: Dramaturgi Transedental. Buku tersebut ditulis oleh seorang profesor yang menjabat Rektor di Perguruan Tinggi Islam Negeri di Surabaya.

Buku tersebut membahas relasi antara agama, pelacur, dan dunia sosialnya. Penulisnya kemudian menyimpulkan bahwa:

Pertama, para pelacur juga manusia yang memiliki kebutuhan untuk berketuhanan—sehingga mereka tidak pantas menjadi makhluk terpinggirkan, sampah masyarakat, dan “stempel” lainnya yang dilekatkan kepada mereka. Bahkan, sang penulis menyatakan, “Mereka juga butuh kasih sayang dan rasa ketuhanan. Rasa ketuhanan itu terwujud dalam berbagai pengakuan dan juga tindakannya: ada keimanan, ritual, doa, dan harapan.”

Kedua, menjadi pelacur bukan pilihan hidup yang diinginkan. Terdapat banyak faktor yang menyebabkan mereka harus menjerumuskan diri ke lembah pelacuran. Karena itu, menurut penulisnya, kita jangan memandang para pelacur dari “panggung depan” (front stage), tetapi juga harus melihat alasan dan hati nurani yang mendorong mereka melakukan pelacuran. Berdasarkan perspektif teori dramaturgi, penulis kemudian menemukan bahwa “… dunia pelacuran juga memiliki ruang agama yang berciri khas. Ruang agama tersebut tidak berada di panggung depan yang hingar bingar, tetapi berada di ruang belakang yang tersembunyi, tetapi berada dalam kesadaran hakiki.”

Sikap yang ditawarkan penulis ini bisa menjadi pembenaran  prilaku pelacuran. Selama pelacur memiliki keimanan, suka beribadah, berdoa, shalat, dan yang lainnya, praktik pelacuran adalah perbuatan yang sah-sah saja. Pandangan seperti itu tentu saja tidak akan menyadarkan para pelacur. Karena, mereka merasa berada pada posisi yang tidak perlu disalahkan.

Selain bahaya pembenaran, ada hal yang sangat kontras dalam kesimpulan tersebut. Ia bisa dibaca dari ungkapan penulisnya, “….Mereka juga butuh kasih sayang  dan rasa ketuhanan. Rasa ketuhanan itu terwujud dalam berbagai pengakuan dan juga tindakannya: ada keimanan, ritual, doa, dan harapan.”

Fenomena tersebut kemudian direfleksikan sebagai ruang agama yang berciri khas. Di satu sisi prilaku pelacuran merupakan prilaku yang bertentangan dengan agama, tetapi di sisi lain para pelacur pun memiliki keimanan dan suka beribadah. Berdasarkan hal tersebut, para pelacur direfleksikan memiliki ruang agama yang kemudian menjadi modal untuk pembenaran prilakunya.

Lebih parah lagi, pada halaman 183 penulis menyatakan dengan jelas, “…. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika di sekitar pelacur ada sajadah, mukena, kitab suci, dan lantunan kalam ilahi yang dikumandangkan di tengah kesibukannya melayani para lelaki hidung bekang.”

Ungkapan demikian sangat menodai kesucian agama, khususnya Islam. Bahkan, susunan kalimat di atas memberikan pemahaman kepada kita bahwa yang dimaksud lantunan kalam Ilahi di sana adalah Al-Quran. Sebab, sebelum kalimat itu didahului dengan sajadah dan mukena.

Kalimat tersebut mengambarkan bahwa penulis tidak memahami ajaran Islam dengan benar. Dari tulisannya tersebut, ia menganggap bahwa fenomena tersebut adalah bentuk keberagamaan para pelacur.

Penulis buku ini adalah rektor dari perguruan tinggi Islam negeri di Surabaya. Seharusnya, ia lebih faham masalah agama, terutama Islam. Walaupun ia pakar di bidang sosiologi, tetapi paling tidak ia bisa bertanya kepada para dosen yang ada di perguruan tinggi tersebut yang pakar di bidang syariah.

Dalam Islam, pelacuran dapat dikategorikan sebagai perbuatan zina. Setelah musyrik, Islam menganggap zina sebagai dosa paling besar (al-kaba`ir). Bahkan, hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abu Hurairah menerangkan bahwa ketika melakukan perzinaan, orang yang berzina bukan orang yang beriman (Shahih Al-Bukhari jilid 4 No. 6772). Bahkan, Islam bukan hanya melarang melakukan zina, tetapi melarang mendekatinya (QS 17: 32).

Berzina adalah melakukan hubungan suami-istri di luar pernikahan. Meskipun hanya dilakukan sekali, zina tetap zina. Itu bagi yang baru sekali melakukannya, terlabih lagi bagi orang yang menjadikannya sebagai pekerjaan?

Kekeliruan dalam menyimpulkan relasi agama, pelacur dan dunia sosial ini disebabkan beberapa faktor, yaitu:

Pertama, Kesalahan memahami agama.

Kedua, Pandangan  sekular.

Ketiga, Penggunaan teori yang keliru.

Kesalahan Memahami Agama

Kekeliruan pertama adalah salah dalam memahami agama—terutama Islam. Banyak pernyataan dan pandangan penulis yang menunjukkan ketidakpahamannya terhadap agama. Sebagai contoh, pada halaman 24, penulis menyatakan, “Agama harus berurusan dengan dunia mitologi sebab agama selalu hadir dengan keyakinan terhadap hal-hal misterius, namun diyakini sebagai sesuatu yang hadir di dalam kehidupan manusia. Salah satu di antara mitologi yang diusung oleh semua agama adalah mengenai proses penciptaan manusia dengan liku-liku seksualitasnya.”

Penulis buku ini kemudian memberikan contoh mitologi-mitologi dari berbagai agama. Contoh pertama yang diberikan yaitu kisah nabi Adam as. dengan Hawa ketika melanggar perintah Allah untuk tidak mendekati sebuah pohon.

Di sini, penulis memandang kisah Nabi Adam as. dengan Hawa sebagai sebuah mitos yang disamakan dengan cerita-cerita yang ada pada agama Hindu, Budha dan lainnya. Padahal, kita mengetahui bahwa tingkat kebenaran mitos lebih rendah dari kebenaran hasil penelitian. Kisah Nabi Adam as. dan Hawa pun sudah termaktub dalam Al-Quran. Ini berarti, penulis menganggap Al-Quran sebagai mitos yang kebenarannya dapat diragukan—na’udzubillahi min dzalik.

Pandangan seperti ini bisa merusak Islam karena merelatifkan suatu kebenaran yang sudah jelas sehingga berakibat pada pemahaman pluralisme agama. Paham pluralisme ini tentu bertentangan dengan agama (Islam). Karena meyakini bahwa semua agama adalah benar, dan memiliki satu tujuan, yaitu The One. Jelas, ini bertolak belakang dengan ayat yang menjelaskan bahwa hanya Islam agama yang diridhai Allah (QS 3: 19).

Selain itu, dalam buku yang tebal halamannya hingga 199 ini, terlihat penulis memandang agama hanya sebatas bentuk keyakinan terhadap Tuhan, tanpa ada konsekuensi-konsekuensi yang harus dilakukan pemeluknya. Keyakinan tersebut seolah-olah tidak ada kaitannya dengan kehidupan yang sedang atau akan dijalani pemeluknya. Hal ini terlihat dalam ungkapannya tentang Agama di Mata Pelacur, “Agama selalu menyangkut persoalan kehadiran yang kudus di dalam kehidupan manusia. Agama selalu terkait dengan misteri ketuhanan. Oleh karena Tuhan adalah misteri, mestinya dia hadir di dalam kemisteriannya itu sehingga jangan salahkan jika ada orang yang mengklaim memiliki pengalaman unik terkait dengan Tuhannya.”  Dalam pernyataan tersebut, Tuhan seolah-olah memiliki kepentingan terhadap manusia sehingga Dia harus datang dan pergi dari manusia. Ketika  Tuhan itu jarang mendatangi seseorang, maka tidak bisa disalahkan jika orang tersebut tidak tertarik kepada Tuhan. Sungguh pemahaman yang sangat berbahaya, apalagi muncul dari seorang rektor perguruan tinggi Islam.

Tentu pandangan agama tersebut sangat bertolak belakang dengan ajaran Islam. Rasulullah Saw pernah menyampaikan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah ra. bahwa setiap manusia yang dilahirkan berada pada kondisi fitrah, maka orang tuanyalah yang menjadikan putra-putrinya menjadi yahudi, nasrani, dan majusi. Di sini Islam telah menunjukkan bahwa ketika seorang bayi lahir, ia telah Islam. Artinya, bahwa pada dasarnya Islam itu adalah agama yang sesuai dengan fitrah kemanusiaannya. Artinya, kebutuhan dasar manusia salah satunya adalah beragama (berislam). Jadi manusia yang membutuhkan Tuhan, bukan Tuhan yang membutuhkan manusia. Sebagai contoh, ketika seseorang berada di tengah bahaya yang akan menimpanya, maka ketika itu ia sangat membutuhkan pertolongan, pada saat orang tidak ada yang bisa menolongnya seperti ditengah laut, tentu ketika itu ia berdoa sebagai bentuk menaruh harapan, dan ktika berdoa itulah menunjukan bahwa manusia sangat membutuhkan Zat yang bisa melindungi dan menyelamatkannya dari segala bahaya. Meminta pertolongan kepada sesama manusia hanyalah bersifat sementara, bahkan manusia pun tidak selamanya dapat menolong, adakalanya ia pun mengalami bahaya. Oleh karenanya, meminta pertolongan kepada Zat yang tidak pernah mendapat bahaya sangat dibutuhkan manusia walaupun ia mengaku tidak percaya kepada Tuhan.

Islam juga memerintahkan kepada umatnya untuk melaksanakan ajarannya secara kaaffah (menyeluruh). Islam bukan agama yang hanya mengatur kepercayaan kepada yang ghaibatau kebutuhan rohani, tetapi Islam adalah sistem hidup bagi seluruh manusia. Memilah-milah ajaran Islam hanya akan mendatangkan nista di dunia dan siksaaan di akhirat (QS 2: 85).

 

Pandangan Sekular

Dunia pelacuran dipandang oleh penulis sebagai suatu realita yang tidak bisa dilihat sebelah mata. Hal tersebut karena pelacuran merupakan dunia ril yang ada di dalam tatanan sosial masyarakat kita. Di sini penulis memandang sulit untuk menghilangkan pelacuran dari kahidupan sosial manusia.  Penulis menyatakan, “… ia telah menjadi unit usaha yang absah karena telah memiliki izin dari Negara. Antara pelacur, mucikari, dan para penggunanya sama-sama telah menyadari bahwa seksualitas yang diperankan oleh para pelacur adalah kebutuhan dasar manusia yang tidak mungkin dihindarkan. Pelacur dengan tubuhnya adalah komoditas yang bisa menghasilkan kekuatan ekonom.”

Bahkan, penulis pun sangat menyayangkan adanya pembatasan atau penutupan sementara kegiatan para pelacur di bulan Ramadhan. Dengan sinis ia menulis, “maklumlah, di negeri ini pelacur tidak boleh bekerja di bulan Ramadhan. Bulan suci tersebut tidak boleh dikotori dengan tindakan yang melanggar moralitas agama. Padahal, menjelang hari raya, mereka harus pulang ke rumah asalnya. Mereka harus membawa oleh-oleh sebagai tanda kesuksesannya bekerja.”

Ia kemudian menjelaskan bahwa para pelacur pun senantiasa berinfak, membayar zakat, dan membantu keluarga. Di sini, penulis mencoba merasionalkan alasan dan tujuan para pelacur sebagai sebuah tuntutan dan tekanan hidup. Ia tidak melihat dampak yang dimunculkan dari pelacuran. Maka, penulis pun melihat positif-negatif dunia pelacuran ini tergantung pada perspektif yang digunakan, “Persoalan positif atau negatif adalah konstruksi orang tentang sesuatu berdasar atas pahamnya mengenai sesuatu itu. Oleh karena itu, untuk menyatakan bahwa sesuatu itu negatif atau positif juga sangat tergantung pada perspektif yang digunakan untuk melihatnya.”  Karena itu, baginya pelacuran merupakan suatu fenomena yang tidak dapat dipungkiri eksistensinya serta memiliki nilai positif dan negatif.

Walaupun dalam buku ini banyak ungkapan dan pernyataan tentang  agama, keyakinan, dosa, taubat, suci, dan ungkapan-ungkapan spiritualisme lainnya, tetapi penulis ingin menyampaikan kepada kita bahwa dunia pelacuran adalah benar-benar ada. Ia bahkan menjadi salah satu bentuk usaha yang dapat menghasilkan kekuatan ekonomi bangsa.

Selain akan menyebabkan tumbuh suburnya prostitusi di negeri ini,  pandangan tersebut adalah pandangan sekular (secular worldview). Pandangan seperti itu adalah sikap sekularisasi dalam agama. Sekular bukan hanya sekadar memisahkan agama dari politik, tetapi inti dari sekularisme adalah membuang makna-makna spiritual dari alam, etika, politik, dan agama. Artinya, ketika kita melihat suatu fenomena, kita tidak perlu mengaitkannya dengan keyakinan, agama, dan Tuhan. Namun, ia cukup dilihat sebagai sebuah fenomena yang bisa diindera.

Sekularisme tidak menolak agama dalam kehidupan, tetapi sekularisme melihat sebuah fenomena tidak dari kacamata agama. Agama cukup di hati. Agama adalah privasi seseorang. Inilah alasan mengapa pada zaman sekarang banyak orang yang ibadahnya rajin tetapi tetap melakukan kemaksiatan (Lihat Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam and Secularism,dan Wan Moh Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed. M. Naquib Al-Attas).

Inilah yang dikritik keras oleh Al-Attas, yaitu bahwa Ilmu pengetahun modern telah menjadikan kajian mengenai fenomena alam sebagai suatu tujuan akhir dan melihat sesuatu sebagai sesuatu itu sendiri, tanpa melihat makna di balik fenomena itu. Akhirnya, banyak para ilmuwan yang berpikir pragmatis dan matrealistis—seperti yang ada dalam buku ini.

 

Penggunaan Teori yang Keliru

Teori yang digunakan untuk menganalisis hubungan agama pelacur dan dunia sosialnya adalah teori dramaturgi. Teori ini dikenalkan oleh Erving Goffman. Ia melihat kehidupan sosial sebagai satu seri drama atau pertunjukan di mana para aktor memainkan peran-peran tertentu. Pada intinya dalam teori ini kehidupan sosial dibagi menjadi dua bagian: front stage (panggug depan) dan back stage (panggung belakang). Front Stage ini merupakan gambaran prilaku seseorang dalam kehidupan sosialnya, bagaimana orang tersebut memainkan peranannya sebagai salah satu bagian dari masyarakat sehingga dapat diterima oleh masyarakat.

Menurut Goffman, dalam front stage ini pada umumnya orang berusaha menampilkan sutau self atau diri yang diidealkan agar dapat diakui dan diterima masyarakat. Karena itu, menurut Goffman, dalam front stage ini mau tidak mau mereka harus menyembunyikan hal-hal tertentu dalam pertunjukan (performance), seperti menyembunyikan hal-hal yang bersifat negatif, tidak perlu menunjukkan usaha yang dilakukan untuk mencapai hasilnya, menyembunyikan cara-cara yang kotor dalam melakukan usahanya itu, dan hal-hal lainnya yang bisa merendahkan pertunjukan.

Sedangkan back stage adalah tempat atau situasi dimana seorang individu tidak perlu bertingkah laku sesuai dengan harapan-harapan orang dari situasinya itu. Misalnya, di dalam keluarga seorang tentara tidak harus memperlihatkan muka suram (Bernard Raho, SVD Teori Sosiologi Modern, 2007).

Dalam buku ini, penulis mengklasifikasikan bahwa menjual dirinya kepada lelaki hidung belang adalah bagian dari front stage. Sedangkan berdoa, bersedekah, dan mengikuti pengajian adalah back stage kehidupan pelacur.

Jika direnungkan dengan saksama, perbuatan mendagangkan diri dalam teori front stage dramaturgi justru prilaku yang dianggap hina, merusak, dan kotor oleh masyarakat. Apa yang mereka lakukan bukan dalam rangka menarik perhatian masyarakat atau para penonton secara umum, tetapi menarik cemoohan masyarakat. Seharusnya, jika penulis konsisten terhadap teori yang dibangunnya dalam melihat masalah ini, yang menjadi “front stage” adalah prilaku ketika mereka bersedekah, berpuasa, membayar zakat. Karena, perbuatan tersebut merupakan prilaku ideal masyarakat dan bisa menjadi daya tarik “para penonton”.

Sedangkan bagian back stage adalah tempat dimana para pelacur merasa enjoy dengan hal yang mereka lakukan, yaitu ketika terjun ke dunia “hitam”. Dengan demikian, teori yang digunakan dalam masalah ini sangat keliru. Kesimpulan yang dihasilkannya pun keliru.

Mungkin ada orang yang mengatakan bahwa hal tersebut tergantung kepada persepsi saja. Sebagaimana persepsi pelacur yang menilai perbuatannya sebagai perbuatan baik. Inilah pandangan sekular. Sebuah pandangan yang melihat fenomena cukup sebagai sesuatu yang dapat dilihat, dirasakan, dan dialami (empirical). Cara pandang seperti itu tidak melihat selalu ada makna di balik setiap fenomena. Implikasinya, segala hal menjadi relatif—tergantung dari mana seseorang melihat, merasa, mengalami.

Agar mendapatkan makna yang benar, fenomena tersebut seharusnya dimaknai dengan benar. Patokannya bukan pandangan orang-orang yang sama-sama membaca fenomena. Sebab, ia akan menjadi perdebatan panjang. Patokan yang benar seharus adalah petunjuk yang membuat fenomena tersebut, yaitu Allah.

Selain itu, teori dramaturgi akan membuat kehidupan seseorang terbelah menjadi dua: kepalsuan dan sejati. Tolok ukur positif tidaknya seseorang dalam kehidupan sosialnya pun adalah bagian back stage.

Walaupun kehidupan seseorang dalam masyarakatnya buruk, tetapi jika ia memiliki back stage yang baik, fenomena tersebut tidak perlu dikhawatirkan. Jika, misalnya, ada seseorang yang merampok, mencuri, dan melacur, tetapi selama ia berbuat baik terhadap sesama dan keluarganya, prilaku seperti itu tidak perlu disalahkan.

Jika cara pandang seperti itu yang digunakan, maka telah terjadi spilt personality. Itulah akibat ilmu sekular Barat yang selama ini dikhawatirkan Al-Attas dan telah merasuki tubuh umat Islam. Akibatnya, akn lahir manusia yang pada satu saat ia shalat di masjid, tetapi di saat yang lain ia melakukan maksiat di kantornya.

Ala kulli hal, melihat relasi agama pelacur dan dunia sosialnya dengan menggunakan teori dramaturgi atau teori-teori hanya yang menjunjung nilai kebenaran empirical saja hanya akan menambah runyam problem sosial. Ia bukan solusi, tetapi masalah. Dan ia hanya akan menimbulkan kemudaratan daripada kemasalahatan. Solusi yang paling benar adalah Islam. Islam adalah petunjuk. Sederhananya, jika seseorang dekat dari Islam, ia akan mendapatkan petunjuk. Sebaliknya, jika seseorang jauh dari Islam, ia akan tersesat.[] Wallahu a’lam bish-shawwab

 

 Tulisan ini pernah dimuat dalam Majalah Risalah No 11 Th. 48 Shafar 1432 H/Februari 2011

Membangun Peradaban

Insan Muhamadi

Kemajuan suatu bangsa tidak diukur dari struktur fisik yang berhasil didirikan. Sebab, struktur fisik hanyalah produk dari sebuah peradaban. Ia bukan hakikat dari peradaban itu sendiri. Pada saat ini kita bisa melihat negara-negara Arab yang memiliki bangunan-bangunan fisik sangat megah dan menakjubkan tetapi tidak dikenal sebagai negara yang memiliki peradaban maju. Sebab, bangunan-bangunan fisik itu tidak dibangun dari tradisi ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang mereka miliki. Mereka hanya membelinya dengan sumber daya alam minyak yang sangat berlimpah di bumi mereka. Kita pun bisa melihat peradaban Romawi yang sekarang tinggal puing-puing sejarah saja. Meskipun  sisa-sisa bangunan fisiknya yang megah itu masih bisa kita lihat, tetapi ia hanyalah puing-puing tak bernyawa. Ia tidak memiliki pancaran kehidupan lagi. Ibarat raga yang sudah kehilangan ruhnya, peradaban mereka telah mati.

Bangunan sebuah peradaban yang sesungguhnya terletak pada manusia-manusianya. Manusialah yang membangun sebuah peradaban. Manusia pula yang mempertahankan dan menjadikannya tetap hidup—bukan bangunan atau struktur fisiknya. Kehancuran dan kemundurannya pun demikian. Ia disebabkan oleh ketidakmampuan manusia-manusianya untuk menjaga kokohnya peradaban mereka.

 

Makna Peradaban

Peradaban berasal dari kata bahasa Arab, yaitu adab, yang berarti kebaikan sempurna  dan menyeluruh—baik spiritual ataupun material. Syed Muhammad Naquib Al-Attas, penggagas islamisasi ilmu, memaknai orang beradab sebagai berikut:

“Orang yang beradab adalah orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada  Tuhan; yang memahami dan menunaikan keadilan terhadap dirinya sendiri dan orang lain dalam masyarakatnya; yang terus berupaya meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan sebagai manusia yang beradab.”

Walaupun berasal dari bahasa Arab, istilah adab tidak mewakili makna peradaban dalam konsep dan istilah yang digunakan dalam bahasa Arab. Istilah peradaban justru sepadan dengan istilah tamaddun. Istilah ini berasal dari kata da-ya-na yang bermakna utang. Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi menjelaskan bahwa konsep tamaddun ini tidak bisa dilepaskan dari din (agama). Sebab, ia berasal dari akar kata yang sama.

Hamid menjelaskan bahwa manusia dalam jumlah yang banyak dan berkelompok selalu memerlukan seorang pemimpin yang disebut dayyan. Pemimpin yang tentu saja memiliki karakteristik pasrah pada hukum-hukum Allah. Din yang diamalkan dan diterapkan oleh sebuah komunitas di dalam suatu tempat disebut denan madinah. Dari madinah inilah lahir dan muncul kreasi-kreasi manusia yang kelak disebut dengan tamaddun. Maka dalam Islam, peradaban lahir dari agama dan merupakan konsekuensi dari keberutangan manusia kepada Allah yang telah memberikan segala nikmat kepadanya.

Dari uraian di atas, kita dapat menyimpulkan, bahwa peradaban adalah segala sesuatu yang lahir dan hidup dari cara pandang serta budaya orang-orang yang beradab, sebagai konsekuensi dari keberutangan mereka kepada Tuhannya. Artinya, peradaban tidak bisa dilepaskan dari keberagamaan orang-orangnya. Ia lahir dan tumbuh dalam cakupan maknanya. Peradaban Islam pun tidak bisa dilepaskan dari konsep din dan ibadah kepada Allah. Begitu juga peradaban-peradaban lain, ia tidak bisa dilepaskan dari konsep agama dan peribadatannya. Peradaban Romawi tidak bisa lepas dari Kristen, peradaban Mesir kuno tidak bisa dilepaskan dari paganisme, peradaban India tidak bisa dilepaskan dari agama Hindu, dan lain-lain.

 

Peradaban Islam Masa Kini

Peradaban Islam tidak bisa dilepaskan dari konsep ibadah kepada Allah. Ia lahir dari ajaran-ajaran yang tertuang dalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullah. Kemajuan dan kemundurannya tidak lepas dari hubungan kaum muslimin dengan keduanya. Jika ingin maju, berpeganglah kepada keduanya. Jika mundur, itu artinya kaum muslimin telah meninggalkan keduanya. Hal ini sesuai dengan wasiat Rasulullah saw dalam khutbah wada di Arafah,  “Hai manusia, sesungguhnya aku telah tinggalkan untuk kalian dua hal yang jika kalian berpegang kepada keduanya, kalian tidak akan tersesat selamanya: Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya.” (HR Al-Hakim)

Syakib Arselan dalam bukunya yang berjudul Limadza Taakhar Al-Muslimun wa Taqaddama Ghairuhum (Mengapa Umat Islam Mundur dan yang Lainnya Maju), menyimpulkan bahwa orang-orang Barat maju karena mereka meninggalkan agama, sedangkan umat Islam maju apabila mereka berpegang kepada agamanya. Dengan demikian, jika umat Islam ingin maju, mereka harus kembali kepada ajaran Islam.

Namun, kondisi umat Islam yang saat ini tertinggal dari negara Barat, sungguh jauh berbeda dengan keadaan ideal yang seharusnya dicapai. Dalam bidang ilmu pengetahuan dan capaian-capaian teknologi, umat Islam cukup jauh tertinggal. Begitu pula dalam bidang-bidang yang lainnya. Umat Islam saat ini gagal membangun sebuah peradaban yang maju. Padahal, dahulu umat Islam pernah berhasil mendirikan bangunan peradaban yang teramat kokoh dan megah, bahkan tidak mampu diikuti oleh umat mana pun saat itu. Kondisi sekarang ini tentu harus dicari jalan keluarnya.

Pada hakikatnya, kemajuan peradaban selalu berkaitan dengan maju mundurnya budaya keilmuan. Kemajuan yang dicapai Barat saat ini tidak lepas dari budaya ilmu yang berkembang lebih dahulu. Penemuan-penemuan baru dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengantarkan Barat kepada dominasi di segala bidang. Bahkan, penjajahan kepada berbagai negara di Asia dan Afrika pun merupakan kelanjutan dari penemuan-penemuan tersebut. Kemajuan ilmu pengetahuan membutuhkan sokongan dana yang sangat kuat melalui sumber daya alam yang kaya. Namun, sumber daya alam itu tidak dimiliki Barat. Maka, selain tujuan politik dan ekonomi, pengembangan ilmu pengetahuan menjadi salah satu alasan Barat menjajah negara-negara lain.

Sebenarnya Islam telah memberikan pondasi yang teramat kokoh untuk meraih kemajuan tersebut. Ayat yang pertama kali turun adalah ayat yang secara langsung memerintahkan kepada umat manusia untuk membaca. Hal tersebut belum ditambah dengan ayat-ayat lain yang secara tegas mengingatkan manusia untuk menghindari kebodohan dan mendorong untuk mencari ilmu. Kalimat-kalimat seperti “Mengapa kamu tidak berpikir,” “Mengapa kamu tidak menggunakan akal,” dan lain-lain sering kita dapatkan dalam Al-Quran. Di dalam hadits pun Rasulullah menyebutkan bahwa menuntut ilmu hukumnya wajib bagi setiap Muslim (HR Ibnu Majah). Para penuntut ilmu disamakan dengan orang yang berjihad di jalan Allah. Bahkan, mereka telah Allah muliakan dengan diangkat beberapa derajat di atas kaum muslimin yang lain.

Pondasi yang teramat kokoh tersebut seharusnya mampu mendorong umat Islam membangun peradaban yang sangat maju. Sebab, ilmu yang dimaksud oleh Islam (Al-Quran dan Sunnah) tidak terbatas pada ilmu agama saja, tetapi mencakup segala jenis ilmu dan pengetahuan. Menurut Al-Attas, karena cakupan ilmu sangat luas, para ulama pun kemudian menyadari bahwa mendefinisikan ilmu secara hadd (terbatas) adalah mustahil. Al-Attas kemudian menjelaskan bahwa ilmu merupakan sesuatu yang tidak terbatas (limitless) dengan demikian ia tidak memiliki ciri-ciri spesifik dan perbedaan khusus yang bisa didefinisikan. Pemahaman mengenai istilah ilm selalu diukur oleh pengetahuan seseorang mengenai ilmu dan oleh sesuatu yang jelas baginya. Ketika medan ilmu sangat luas, maka pengetahuan seseorang terhadapnya sangat terbatas. Oleh karena itu, pemahaman ilmu dari masing-masing orang pasti terbatas.

Uraian di atas mengindikasikan dengan jelas bahwa ilmu dalam Islam adalah anugerah dari Allah serta bisa didapatkan dengan aktivitas belajar. Oleh karena itu, Allah memerintahkan kepada manusia untuk mencarinya. Dan terbukti para ulama dahulu menguasai beragam ilmu. Fakhruddin Al-Razi (1149-1210 M), misalnya, menguasai Al-Quran, Hadits, tafsir, fiqih, ushul fiqih, sastra arab, perbandingan agama, logika, matematika, fisika, dan kedokteran. Bahkan, bukan hanya Al-Quran dan Hadits yang dihafal, beberapa buku yang sangat penting dalam bidang ushul fikih seperti Al-Shamil fi Ushul Al-Din karya Imam Al-Haramain Al-Juwaini, Al-Mu‘tamad karya Abu Al-Husain Al-Bashri dan Al-Mustasfa karya Al-Ghazali, telah dihafal oleh Fakhruddin Al-Razi.

Contoh yang lain adalah Ibn Sina. Seorang pendeta Kristen, G.C. Anawati, bahkan mengagumi penguasaan Ibn Sina terhadap ilmu pengetahuan. Ia menyatakan bahwa  sebelum meninggal, Ibnu Sina telah menulis kurang lebih 276 karya. Ia meliputi berbagai subjek ilmu pengetahuan seperti filsafat, kedokteran, geometri, astronomi, musik, syair, teologi, politik, matematika, fisika, kimia, sastra, kosmologi, dan sebagainya.

 

Solusi Pendidikan Islam

Dalam uraian di awal telah sedikit diulas bahwa membangun peradaban adalah membangun manusia-manusianya. Ia berarti membangun manusia-manusia yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada  Tuhan; yang memahami dan menunaikan keadilan terhadap dirinya sendiri dan orang lain dalam masyarakatnya; yang terus berupaya meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan sebagai manusia yang beradab.

Manusia-manusia beradab ini hanya bisa lahir dari sistem pendidikan yang islami. Sistem pendidikan yang berdiri di atas pondasi Tauhid yang kokoh dan tidak lekang oleh waktu. Sistem pendidikan yang tidak memisahkan dirinya dari agama. Sistem pendidikan yang tidak hanya mendidik akal dan keterampilan, tetapi juga mendidik jiwa. Sistem pendidikan yang mencetak generasi ulama cendekiawan yang takut kepada Allah, bukan menentang hukum-hukum Allah.

Untuk membangun sistem pendidikan yang islami diperlukan perhatian dari seluruh umat Islam. Sebab, sistem pendidikan tersebut tidak akan meraih keberhasilan yang diinginkan jika tidak didukung oleh unsur-unsur di sekelilingnya. Sebaik apa pun sistem pendidikan, jika kondisi masyarakat tidak mendukung, ia akan membuat beberapa bagiannya rapuh. Dan, bagian yang rapuh ini akan menyebabkan rusaknya bagian yang lain. Oleh karena itu, dukungan lingkungan dan seluruh komponen masyarakat sangat dibutuhkan—demi tercapainya bangunan peradaban yang maju.

Ketika menjelaskan ayat 31 surat Al-Baqarah, dalam Tafsir Al-Kabir, Imam Fakhrurazi menyebutkan sebuah hadits Rasulullah, “Jadilah kamu orang mengajarkan ilmu, atau orang yang mencari ilmu, atau orang yang mendengarkan ilmu, atau orang yang mencintai ilmu. Dan janganlah kamu menjadi golongan yang ke lima, sebab kamu akan celaka.”

Hadits di atas menegaskan keharusan setiap orang berperan dalam pembangunan peradaban ilmu. Dan, pilihannya hanya ada empat: Pertama, menjadi pengajar yang membagikan ilmu. Kedua, menjadi penuntut ilmu yang tekun dan serius. Ketiga, menjadi pendengar ilmu di waktu-waktu senggang—bagi orang sibuk. Keempat, menjadi pecinta ilmu dengan membantu orang lain dalam mencari ilmu—baik dengan memberi bantuan materi atau hal yang lainnya. Lalu, menjadi golongan yang manakah kita? Wallahu a’lam bish-shawwab