Category Archives: Pendidikan

Pendidikan yang Mengutamakan Akhlak

Oleh: Silmi Kapatan Inda Robby

 

Pendidikan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia. Outcome dari sistem pendidikan adalah individu yang baik dan beradab, yang diyakini akan memberikan peran sebagai agent of change. Dari individu-individu itu diharapkan dapat melahirkan tatanan masyarakat yang baik dan beradab. Masyarakat yang mempunyai kadar intelektualitas dan spiritualitas yang tinggi.

Hal pertama yang harus dipahami dalam pendidikan adalah tujuan pendidikan dan karakteristik manusia. Sebab, ketidakpahaman terhadap tujuan pendidikan dan karakteristik manusia hanya akan menjadikan pendidikan sebagai sarana program trial and error. Hal tersebut akan menjadikan peserta didik sebagai kelinci percobaan. Pada gilirannya, dalam jangka panjang, hal tersebut akan mengancam eksistensi sebuah bangsa. Karena, generasi hasil pendidikan nasionalnya tidak mempunyai karakter yang kuat dan kepribadian yang tangguh.

Masyarakat yang dibentuk oleh nilai-nilai dan ideologi sekularistik-materialistik, misalnya, hanya akan melahirkan sumberdaya manusia (peserta didik) yang profit oriented. Mereka hanya berpikir keuntungan material semata. Hidup bagi mereka adalah perhitungan laba-rugi. Mereka selalu membawa “pembukuan” di benaknya dalam setiap interaksi sosial keseharian dengan manusia lainnya. Mereka adalah economic animal, hewan-hewan yang berkeliaran di pasar-pasar, di lantai bursa, dan di semua sudut kehidupan sambil membawa “kalkulator” untuk menghitung keuntungan hasil transaksi sosial mereka.

Di sini masyarakat harus mendorong pemerintah untuk merumuskan arah kebijakan pendidikan nasional tentang landasan worldview pendidikan. Standarisasi arah kebijakan pendidikan nasional ini untuk memastikan bahwa tujuan pendidikan nasional yang luhur itu memang bisa dicapai. Bukan angan-angan yang terlintas di awang-awang.

 

Membangun Keseimbangan

Semua negara tentu mempunyai rencana strategis dengan menjadikan pendidikan sebagai bagian dari prioritas pembangunan. Karena tempat paling tepat untuk membangun manusia adalah pendidikan.

Sulit dipungkiri bahwa paradigma pendidikan di Indonesia telah bergeser ke arah sistem materialistik-kapitalistik-sekularistik. Oleh sebab itu, tidak mengherankan kalau terjadi fenomena kemerosotan nilai-nilai moral dan spiritual di kalangan masyarakat Indonesia saat ini. Evaluasi hasil pendidikan dan indeks prestasi yang berupa angka-angka hanya akan melahirkan lulusan lembaga pendidikan yang berorientasi kerja, mencari uang, berkeluarga, untuk kemudian mati.

Lembaga pendidikan di Indonesia sebagian besar hanya menghasilkan lulusan yang tidak memiliki kesadaran kritis untuk menjadi manusia yang memiliki keluhuran budi, kekuatan akhlakul karimah, dan kemandirian. Yang muncul justru orang-orang yang rendah emosional spiritual. Meskipun mereka mempunyai kualitas yang tinggi dalam penguasaan iptek. Pendek kata, keberhasilan pendidikan saat ini tidak mampu membangun jati diri peserta didik sebagai generasi tangguh Indonesia, seperti yang diamanatkan dalam rumusan pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Sekularisasi pendidikan ini telah dimulai sejak adanya dua kurikulum pendidikan yang dikeluarkan oleh dua kementerian (departemen) yang berbeda, yakni kemenag dan kemendiknas. Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan iptek berada di wilayah bebas nilai (value free) sehingga sama sekali tidak tersentuh standar nilai agama. Kalaupun ada ia hanya berupa etika atau moral yang tidak bersandar pada nilai agama, tetapi pada nilai-nilai hasil kesepakatan manusia yang relatif. Sementara pembentukan karakter peserta didik, yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan, justru kurang tergarap secara serius. Pendidikan yang materialistik memberikan kepada peserta didik suatu basis pemikiran yang serba terukur secara material serta memungkiri hal-hal yang bersifat non-material. Dan ini menjadi wilayah kerja kemendiknas.

Di lain pihak, urusan agama diserahkan kepada kemenag yang mengelola lembaga pendidikan berciri khas keagamaan, misalnya Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah. Tapi pada kenyataannya, lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola oleh kemenag pun menyandarkan hasil akhir proses pendidikan peserta didik pada angka, yang menjadi indikator penilaian yang paling valid, objektif, dan representatif bagi kecerdasan peserta didik.

Walhasil, dalam memperlakukan peserta didik, kemenag dan kemendiknas hanya berbeda ketika berangkat saja, sedangkan garis finish-nya hampir sama, yakni menjadikan angka sebagai indikator kelulusan. Bukan beriman dan bertakwa kepada Allah, dan berperilaku atau berakhlak mulia. Padahal, tiga poin itulah (iman, takwa, akhlak mulia) awal tujuan pendidikan nasional.

 

Adab sebagai Tujuan Pendidikan

Karena yang dididik dalam prkatik pendidikan adalah manusia, maka pertanyaan yang muncul adalah, “Manusia yang bagaimana, yang hendak dibentuk melalui pendidikan tersebut?”

Syed Muhammad Naquib Naquib al-Attas (1980: 48-52) menjelaskan bahwa tujuan pendidikan dalam Islam adalah menghasilkan manusia yang beradab (good man), yakni manusia yang bijak, yang mampu mengenali dan mengakui segala tata tertib realitas, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan keperiadaan-Nya.

Ahmad Marimba (1989: 39) berpendapat bahwa tujuan pendidikan dalam Islam secara umum adalah terbentuknya manusia yang berkepribadian muslim, yakni berserah diri sepenuhnya kepada Allah. Sedangkan menurut Abdul Fattah Jalal (1988), tujuan umum pendidikan Islam adalah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah (‘abdullah) yang beribadah kepada-Nya.

Menjadikan peserta didik beradab merupakan sebuah keharusan. Hanya dengan adab-lah, karakter bangsa akan terbentuk sempurna. Manusia-manusia Indonesia akan menjadi insan kamil, yaitu manusia yang beraktivitas sesuai dengan fitrahnya.

Dalam pendidikan Islam, Nabi Muhammad adalah model insan kamil. Beliau sempurna dalam semua aspek insaniah-nya. Bukan hanya secara fisik saja beliau sempurna, tapi juga emosional dan spiritual. Inilah yang membuat akhlak beliau menjadi sangat mulia. Manusia kemudian didorong untuk meneladani beliau. Sebab, beliau telah dijadikan Allah sebagai uswatun hasanah, teladan yang paling baik bagi manusia. Dan, salah satu tugas utama beliau sebagai rasul adalah untuk menyempurnakan akhlak.

Pemahaman yang utuh seperti di atas seharusnya dipahami dengan baik oleh umat Islam. Dengan demikian, akhlak menjadi tujuan paling urgen dalam praktik pendidikan Islam. Dari pendidikan seperti itulah, akan lahir sosok-sosok ilmuwan pewaris para ajaran Nabi dan yang takut kepada Allah.

Menimbang Pendidikan Nasional Kita

Oleh: Agung Aditya Subhan

Sebelum masuk pada sesi pertanyaan, penulis tanyakan kepada Bapak Ibu semua, apakah akan ada pertanyaan atau pas?” ungkap seorang moderator kepada para hadirin, dengan mantap mereka menjawab, “Pas”, moderator pun langsung mengatakan, “Baik dengan demikian kita tutup saja acara ini …”

Demikian gambaran kondisi acara workshop yang bertajuk Manajemen Administrasi untuk Peningkatan Guru Madrasah yang dihadiri oleh sekitar 100 an Kepala Madrasah. Penulis yang berkesempatan hadir pada acara tersebut sudah menyiapkan bebearapa pertanyaan  untuk pemateri, namun setelah mendengar hal itu menjadi sangat kecewa dan heran. Dalam hati, penulis bertanya penuh kesal, mengapa sesi pertanyaan tadi harus dipertanyakan terlebih dahulu?! Bahkan hal itu pun diulangi lagi pada materi yang lain, dari empat orang pemateri yang menyampaikan materinya nyaris tidak ada pertanyaan dan terlihat memang seperti disetting untuk tidak ada pertanyaan, pada materi yang ketiga ada pertanyaan dari seorang peserta itupun karena sang pemateri yang meminta. Anehnya ketika pertanyaan itu diajukan, di tengah-tengah kumpulan peserta  tersebut ada seorang Ibu berdiri bertanya kepada penanya tersebut, “lama gak?”.

Bukan hanya masalah pertanyaan, ketika acara berlangsung, para peserta terlihat kurang respon dengan materi yang disampaikan, di antara mereka ada yang ngobrol sambil merokok, sibuk dengan handphone nya, bahkan terlihat jelas penulis melihat kurang lebih ada tiga orang yang membawa laptop, semuanya asik mengkases internet, satu di antara tiga orang tadi asyik bermain game, ada juga yang sedang searching di google.  Dalam hati penulis terus bertanya-tanya, kenapa ini terjadi di acara seperti ini? Padahal mereka adalah kepala madarasah, orang terpenting di institusi atau lembaga pendidikan, mungkin hanya 30 -40 persen yang memperhatikan materi yang sedang disampaikan. Dan yang lebih mengherankan, pada materi terakhir, suasana workshop tersebut sudah tidak kondusif, jangankan pertanyaan atau diskusi, ketika pemateri sedang menjelaskan materinya, di belakang ada yang berteriak “angpau-angpau (uang-pen) kapan dibagikan?”, ternyata setelah ada pembagian “angpau” sebagai ganti transport, baru  responnya berubah.

Ini kondisi realita dunia pendidikan kita, bagaimana para murid akan serius dalam belajar jika para guru bahkan kepala sekolahnya juga tidak memperhatikan ketika mereka mengikuti pelatihan. Seharusnya seorang guru apalagi kepala sekolah memberikan contoh yang baik dan mulia, dan itulah sebabnya para orang tua kita dulu menyebut seorang pendidik dengan “guru,” karena ia harus digugu dan ditiru. Tapi kenyataannya, melihat prilaku mereka, sungguh menggemaskan!

Belum lagi kasus Alif dan Siami yang melaporkan kejadian contek masal di salah satu sekolah dasar di Surabaya menjadi dibenci oleh para tetangga dan orang tua murid lainnya, bahkan konon Alif dan ibunya, Siami, diusir oleh para tetangganya karena melaporkan perbuatan contek masal tersebut, kontan hal ini membuat Menteri Pendidikan kita kebakaran jenggot. Ini benar-benar memalukan! Orang berbuat jujur malah dibenci bahkan diusir, sementara mereka yang jelas mencontek dibela, diselamatkan. Ini bukan mimpi atau cerita rakyat yang kebenarannya masih diragukan, ini kenyataan, kondisi riil dunia pendidikan kita.

Dua kasus di atas adalah potret dunia pendidikan kita. 66 tahun kita merdeka, selama itu pula sebenarnya melalui pendidikan kita telah memintarkan para koruptor, mencerdaskan para pencuri, memberi gelar kepada para penjahat. Pendidikan  kita belum menyadarkan mereka, belum membangun pribadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan seterusnya sebagaimana tujuan dari pendidikan nasional yang termaktub dalam Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab II pasal 3.Maka tidak heran, jika banyak para politisi kita yang jelas tertuduh korupsi dan suap, dibiarkan kabur dan bersembunyi, atau dibebaskan dari tuntutan. Lalu apa yang salah? Bagaimana seharusnya?

Untuk menjawab pertanyaan pertama, penulis melihat ada dua hal yang mendasar, tereduksinya orientasi ilahiyah dalam pendidikan kita dan terjebak pada pragmatisme. Sedangkan untuk menjawab pertanyaan kedua, penulis memandang bahwa untuk mengubah kedua permasalahan mendasar tadi, Islam telah memiliki konsep yang jelas, bahkan hal itu telah terbukti ketika Islam berkuasa dan sempat menyebabkan bangkitnya semangat ilmu pengetahuan di dunia Barat yang ketika sedang mengalami The Dark Age.

Reduksi Orientasi Ilahiyah

Tereduksinya orientasi ilahiyah dalam dunia pendidikan nasional adalah faktor utama rusaknya dunia pendidikan kita saat ini. Sebab, pendidikan yang tidak diarahkan pada nilai-nilai luhur ilahiyah, hanya akan menghasilkan manusia-manusia yang serakah, mencari keuntungan untuk diri atau kelompoknya, atau istilah yang disampaikan oleh Rasulullah SAW kepada para sahabat adalah Al-Wahn, yaitu cinta dunia dan  takut mati. Kini Al-Wahn bisa berbentuk cara pandang yang pragmatis, sehingga pendidikan lebih bernuansa bisnis, atau orang belajar hanya untuk mendapat pekerjaan sehingga dapat hidup layak. Tentang pragmatisme ini akan dijelaskan pada pembahasan berikutnya.

Salah satu indikasi tereduksinya orientasi Ilahiyah dalam system pendidikan nasional dapat kita lihat dari terjadinya kesenjangan antara tujuan pendidikan nasional dengan system evaluasinya.

Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003 bab II pasal 3 disebutkan bahwa pendidikan nasional kita, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Berdasarkan tujuan pendidikan nasional di atas jelas bahwa core value pembangunan karakter bangsa yang pertama berorientasi kepada upaya mengembangkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, jelaslah bahwa nilai Iman dan Takwa (IMTAK) merupakan nilai strategis dan di junjung tinggi oleh bangsa Indonesia sekaligus menjadi cita-cita pertama yang ingin diwujudkan melalui pelaksanaan pendidikan nasional.

Pada operasionalisasinya, pendidikan di Indoensia berbeda dari apa yang sudah digariskan dari tujuan pendidikan di atas. Coba perhatikan, jika yang menjadi pondasi pertama dalam tujuan pendidikan di negeri ini adalah manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan seterusnya, lalu kenapa materi ujian nasional yang menjadi standar kelulusan saat ini hanya pelajaran yang sifatnya mengembangkan aspek kognitif, seperti Matematika, IPA, Bahasa  Indonesia, dan yang lainya, sedangkan pelajaran agama tidak termasuk? Padahal jelas sekali dalam undang-undang yang disebutkan di atas tujan pendidikan nasional kita adalah menciptakan manusia beriman dan bertakwa dan seterusnya.

Untuk mencapai derajat tersebut tidak cukup dengan diuji kemampuan anak dalam mata pelajaran seperti Matematika, Bahasa Indonesia, IPA, Bahasa Inggris, IPS. Itu semua hanya kemampuan pengantar yang bisa mengantarkan kepada manusia yang seperti disebutkan dalam undang-undang di atas.

Selain itu, pendidikan di Indonesia hanya dimaknai sebagai salah satu upaya untuk mendapatkan pekerjaan agar tidak menjadi pengangguran. Sehingga pemeritah mengembangkan sekolah kejuruan dengan harapan para siswa lulusannya dapat langsung bekerja dan pengangguran bisa berkurang. Ini sudah menyimpang dari tujuan pendidikan nasional yang menginginkan pendidikan mampu menciptakan manusia yang berkarakter utuh, dalam aspek afektif, kognitif, dan psikomotornya.

Sesungguhnya, pendidikan atau sekolah yang menyiapkan tenaga kerja siap pakai seperti SMK (sekolah Menengah Kejuruan) tidak sesuai dengan iklim Indonesia. Sebab, Indonesia bukan negara industri yang membutuhkan banyak tenaga kerja siap pakai seperti Jepang. Indonesia masih menjadi negara agraris.

Hal ini, disebabkan karena pendidikan di Indonesia mengabaikan nilai-nilai Ilahiyah dalam menjalankan pendidikan di negeri ini. Pendidikan yang ada saat ini hanya melihat dinamika yang tampak di permukaan, belum menyelami akar permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Karena itu, mengembalikan orientasi Ilahiyah dalam dunia pendidikan menjadi sangat penting untuk memperbaiki bangsa ini.

 

Pragmatisme dalam Dunia Pendidikan

Ketika nilai-nilai luhur Ilahiyah dalam dunia pendidikan sudah terkikis, yang ada hanya sebatas slogan dan bersifat formalitas, maka nilai-nilai lain yang akan mengisi orientasi pendidikan kita. Karena kehidupan dunia ini begitu banyak tuntutan dan kebutuhan yang harus dipenuhi, maka dalam rangka itulah dunia pendidikan saat ini dijalankan, sehingga pragmatisme muncul dan mengisi sebagai ganti dari hilangnya nilai-nilai Ilahiyah.

Maka tidak heran, jika orientasi dari lembaga-lembaga pendidikan saat ini terkesan pragmatis. Banyak institusi pendidikan telah berubah menjadi industri bisnis, yang memiliki visi dan misi yang pragmatis. Pendidikan diarahkan untuk meraih kesuksesan materi dan profesi sosial yang akan memakmuran diri, perusahaan dan Negara. Pendidikan dipandang secara ekonomis dan dianggap sebagai sebuah investasi. “Gelar” dianggap sebagai tujuan utama, ingin segera dan secepatnya diraih supaya modal yang selama ini dikeluarkan akan menuai keuntungan, demikian Armas mengungkapkan.

Kita bisa melihat saat ini, begitu banyak sekolah-sekolah yang menjanjikan mudah mendapatkan pekerjaan bagi para almuninya. Munculnya, sekolah kejuruan yang didirikan untuk menyiapkan siswa-siswa yang siap bekerja. Ini sebagai indikasi merajalelanya pragmatisme di dunia pendidikan kita. Bukan berarti pendidikan kejuruan tidak dibenarkan, tapi ketika seseorang belajar diniatkan untuk mendapat pekerjaan, maka ini akan membahayakan pendidikan nasional kita. Sebab, pendidikan semacam itu pada akhirnya hanya akan melahirkan manusia-manusia yang siap bekerja tetapi tidak siap bermasyarakat, takut rugi, hanya mencari keuntungan sendiri dan kelompoknya, yang pada akhirnya sifat al-wahn sebagaimana diramalkan Rasulullah SAW mengakar kuat di hati mereka.

Selain itu, pendidikan yang hanya mengembangkan keahlian khusus dan berorientasi kerja, akan tidak akan melahirkan para saintis melainkan memperbanyak manusia-manusia berjiwa pekerja. Selain itu, saat ini banyak sekali para para ilmuwan yang hanya mengedepankan keilmuannya masing-masing, sehingga mereka buta terhadap ilmu-ilmu yang lain. Inilah yang kemudian juga disesalkan oleh Fritjof Capra seorang saintis kenamaan Barat. Ia mengungkapkan dalam bukunya yang berjudul “Titik Balik Peradaban; Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan”, bahwa saat ini ahli-ahli dalam berbagai bidang tidak lagi mampu menyelesaikan masalah-masalah mendesak yang muncul dalam bidang keahlian mereka. Para ekonom tidak mampu lagi memahami inflasi, Onkolog bingung tentang penyebab kanker, psikiater dikacaukan oleh schizofrenia, polisi semakin tidak berdaya oleh semakin tingginya tingkat kriminalitas.Ia menambahkan bahwa sebagian besar akademisi menganut persepsi-persepsi realitas yang sempit yang tidak cukup untuk menyelesaikan masalah-masalah besar pada zaman ini yang merupakan masalah sistemik, artinya, persoalan tersebut saling berhubungan dan saling bergantung. Problematika tersebut tidak lagi dapat dipahami dalam metodologi yang terpecah-pecah  yang merupakan karekteristik disiplin akademik dan ciri badan pemerintah.

 

Tidak luput pula dengan konsep Sekolah Islam Terpadu. Saat ini begitu menjamur di mana-mana, namun nyatanya sekolah-sekolah tersebut hanya berlaku bagimereka yang siap modal, cukup bekal, sedangkan mereka yang siap secara kemampuan intelegensi tapi lemah dalam “saku” harus bertaruh dengan para “pemborong.”

Para guru, mereka mengajar hanya sebatas melaksanakan tugas, ketika ada kegiatan di luar jadwalnya, maka mereka akan menghitung keuntungannya terlebih dahulu. Begitupula para pelajar atau mahasiswanya, mereka belajar supaya memperoleh pekerjaan yang layak. Sehingga  pendidikan menjadi komoditi, yang harus dibungkus dengan berbagai aksesoris, namun substansinya tetap bahkan lebih buruk. Akibatnya, nilai-nilai Ilahiyah dan nilai-nilai orisinalitas wahyu menjadi buyar dan manusia bukan semakin meningkat keimanannya ketika belajar semakin tinggi, melainkan justeru alergi dengan agama.

Dengan demikian nilai-nilai Ilahiyah ini menjadi sangat penting di dalam dunia pendidikan untuk membimbing para peserta didik maupun para gurunya mengenal lebih dekat dengan Allah.

Konsep Pendidikan dalam Islam

Konsep pendidikan menurut Islam berbeda dengan konsep pendidikan menurut para tokoh Barat. Hal ini dikarenakan cara pandang (worldview) yang berbeda. Sebab, Barat pada zaman modern ini memandang realitas hanya sebatas materi, atau mereka melihat dunia ini digambarkan dengan mekanisme. Artinya dunia ini seperti mesin, bagi yang atheis mesin itu ada dengan sendirinya, tapi bagi mereka yang non atheis mesin itu diciptakan. Namun, di Barat, peran pencipta direduksi, sehingga lama kelamaan peran Sang Pencipta tidak diakui bahkan ditiadakan. Maksudnya, Barat memahami dunia ini seperti mesin, dulu diciptakan dan sekarang mesin itu berjalan sendiri, tidak ada campur tangan pencipta mesin itu, bahkan banyak yang tidak mengakui bahwa mesin tersebut ada yang menciptakannya.

Faham mekanisme ini menggeser faham organisme tentang dunia yang dipegang oleh gereja, bahkan faham ini menguasai alam pikiran Barat modern saat ini. Paradigma positivisme dan empirisme dalam sains Barat menjadi subur. Otoritas memahami dunia, kini berpindah dari gereja ke tangan saintis. Benar-salah, baik-buruk tidak perlu campur tangan Tuhan. Wahyu dikalahkan akal atau diganti dengan akal.

Sehingga, dalam memandang pendidikan pun, Barat meniadakan peran Tuhan. Berbeda dengan Islam, pendidikan tidak sekadar mencerdaskan manusia dari yang tidak tahu menjadi tahu, tapi dalam Islam pendidikan harus sampai pada mengetahui posisinya sebagai hamba dan mengakui keberadaan serta peran Sang Maha Pencipta.

Barat memandang realitas secara filosofis-saintifik semata dan bersifat empirical sehingga terjadi dikotomi sakral-profan, akhirat-dunia, dan Mutlak-relatif yang berakibat pada dualism kebenaran, kepribadian, dan masyarakat. Sementara Islam memandang hakikat realitas berdasarkan wahyu yang dipaykini dari Tuhan. Worldview Islam yang didasarkan atas landasan Wahyu merupakan pandangan metafisika tentang yang terindera maupaun yang tidak terindera oleh manusia dan mencakup pandangan tentang hidup secara keseluruhan.

Begitupula tentang hakikat manusia, Islam memandang manusia secara utuh. Tidak dipisahkan antara jiwa dan raga, antara idea dan realnya sebagaimana termaktub dalam surat Al-Hijr ayat 29, “Maka apabila Aku telah menyepurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepada-Nya dengan bersujud.” Ayat ini pun sekaligus menjelaskan posisi manusia dengan Allah. Karenanya, dalam Islam penting sekali mengetahui dan mengakui posisi dan eksistensi Tuhan. Karena itu, dalam surat Al-A’raf ayat 172 Allah mengambil persaksian setiap manusia.

Sedangkan kajian pengetahuannya, para sarjana muslim, dalam investigasi keilmuan, tidak mengenal dikotomi metode berpikir atau sekulerisasi dalam ilmu seperti yang dikenal dalam sejarah pemikiran Barat. Menurut Al-Attas, ilmu dalam pandangan Islam tidak dapat didefinisikan, artinya kata ilmu dalam Islam mencakup segala hal. Ilmu itu bisa berarti Kitab Suci Al-Qur’an, syari’ah, iman, hikmah, ma’rifah, bisa juga difahami sebagai sains, pemikiran, pendidikan atau yang lainnya. Semua ilmu dalam pandangan Islam datang dari Allah. Untuk tujuan pengklasfikasian dalam tindakan kita ilmu dalam Islam dapat difahami ke dalam dua jenis, yang satu merupakan hidangan untuk membekali jiwa manusia itu sendiri dan yang kedua merupakan bekal manusia di dunia dalam rangka mengejar tujua-tujuan pragmatisnya. Jenis pertama ini diberikan oleh Allah melalui wahyu-Nya, dan merujuk kepada Al-Qur’an dan ilmu-ilmu yang merujuk kepadanya. Ilmu ini dapat membimbing dan menyelamatkan manusia. Sedangkan jenis yang kedua yang merujuk kepada ilmu-ilmu sains yang diperoleh melalui pengalaman, pengamatan dan penelitian. Ilmu jenis pertama diberikan oleh Allah melalui firman-firman-Nya, sedangkan yang kedua dapat diperoleh melalui spekulasi, usaha penyelidikan rasional dan didasarkan atas pengalamannya tentang segala sesuatua yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia serta dapat difahami oleh akal manusia. Masih menurut Al-Attas, dalam Islam, berdasarkan sudut pandang manusia ilmu itu harus diperoleh melalui ‘amal. Ilmu dan amal sangat berkaitan dalam Islam. Ilmu jenis pertama merupakan prasayarat untuk ilmu jenis kedua. Sebab, ilmu yang kedua ini jika tidak didasari ilmu yang pertama, maka ilmu kedua ini tidak akan membimbing manusia dengan benar dalam kehidupannya.

Karena itu, Al-Ghazali menghukumi fardlu ‘ain kepada ilmu yang dapat mengantarkan manusia bertauhid secara benar, mengetahui eksistensi Allah, status-Nya, dan sifat-sifat-Nya, termasuk ilmu yang dapat menyebabkan manusia mengetahui tata cara beribadah kepada Allah dengan benar, serta bermuamalah dengan syari’ah Islam. Sedangkan ilmu jenis kedua seperti diungkapkan di atas, yakni ilmu yang membekali manusia untuk kehidupan di dunia, ia menghukuminya dengan fardlu kifayah.

Ketika berbicara nilai, Islam meyakini bahwa segala hal yang datang dari Allah dan Rasul-nya bersifat absolute, tidak bisa diganggu gugat. Nilai kebenaran ini akan membimbing manusia pada jalan yang benar. Baik dan buruk harus berdasarkan baik menurut yang absolute, sebab bila tidak, maka akan terjadi relatifitas kebenaran yang kemudian membingungkan manusia, sebab tidak ada standar yang pasti.

Dengan demikian, pendidikan dalam Islam bertujuan tidak hanya berorientasi pragmatis, bahkan lebih dari itu, Islam memandang pendidikan juga berorientasi ukhrawi. Seperti apa yang dikemukakan Al-Ghazali bahwa tujuan pendidikan mencakup tiga aspek; keilmuan, kerohanian, dan ketuhanan. Pada aspek ketuhanan, menurut Al-Ghazali bertujuan agar mendapat kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Begitu pula Al-Attas mendefinisikan pendidikan dengan recognition and acknowledgement of the proper places of things in the order of creation, such that it leads to the recognition and acknowledgement of the proper place of God in the order of being and existence.” Artinya, pengenalan dan pengakuan, yang secara berangsur-angsur ditanamkan di dalam manusia, tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan eksistensi.

Dari pengertian tersebut, dapat kita pahami pada akhirnya pendidikan harus mengenal dan mengakui Tuhan pada posisi yang tepat di antara realitas yang ada. Artinya hakikat pendidikan dalam Islam selain mengenal segala hal yang ada di dunia, juga harus mengenal Tuhannya dengan baik. Dengan demikian, seorang manusia merangkap sebagai pelajar, pendidik, sekaligus sebagai hamba Tuhan yang memiliki hak dan kewajibannya. Demikian pula pendidikan nasional seharusnya, supaya tercipta amnesia yang taat kepada aturan Sang Pencipta yang pada akhirnya juga dapat menuntut pada ketaatan Negara. Waalhu A’lam

Pentingnya Model dalam Pendidikan Karakter

Arif Munandar Riswanto

Akhir-akhir ini kita sering mendengar wacana tentang Pendidikan Karakter (PK). Wacana tersebut hadir karena disinyalir dunia pendidikan pada saat sekarang sedang menghadapi tantangan yang sangat serius, yaitu masalah karakter anak didik.

Berbagai program pendidikan dan kucuran dana yang jor-joran ternyata tidak bisa menjadi solusi dari permasalahan krusial dalam dunia pendidikan. Bahkan, dalam kenyataannya, semakin tinggi “pendidikan” seseorang, semakin “tidak berpendidikan” dan “tidak berkarakter” orang tersebut. Kasus-kasus seperti korupsi, penggelapan pajak, dan illegal loging sering dilakukan oleh orang yang “berpendidikan”. Kejahatan-kejahatan seperti itu tidak pernah dilakukan oleh orang yang “tidak berpendidikan”.

Karena pentingnya penanaman karakter, Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) memandang pentingnya Pendidikan Karakter ditanamkan dalam dunia pendidikan Indonesia. Bahkan, karena inisiatif tersebut, pada waktu sekarang, berbagai acara tentang Pendidikan Karakter—seperti seminar, workshop, simposium—sering dilakukan di berbagai tempat. Ada juga wacana yang menyarankan agar nilai-nilai karakter terintegrasi secara langsung ke dalam setiap Mata Pelajaran.

Berbagai laporan tentang semakin tingginya angka-angka narkoba, free sex, tawuran, korupsi, pornografi, dan lain sebagainya menjadi bukti kuat bagi kita tentang rendahnya kualitas karakter bangsa Indonesia. Lalu, apa yang menjadi penyebab hal tersebut?

Ratna Megawangi berpendapat bahwa salah satu penyebab hilangnya karakter dalam dunia pendidikan karena paradigma pendidikan selama ini cenderung lebih menekankan headstart (kecerdasan IQ) daripada heartstart (kecerdasan emosi). Menurutnya, paradigma headstart menekankan anak “harus bisa” hingga ada kecenderungan anak harus belajar terlalu dini (early childhood training).  Kasus-kasus seperti  antisocial personality disorder, learning disability, dan lain sebagainya lahir dari paradigma pendidikan yang headstart (2009: 37-38).

Bahkan, karena pentingnya PK ditanamkan sedini mungkin kepada anak didik, sebuah yayasan yang bergerak dalam Pendidikan Holistik Berbasis Karakter (PHBK), Indonesia Heritage Foundation (IHF), menyebut sekolah-sekolah yang dirintisnya sebagai sekolah karakter. IHF bahkan membuat sembilan pilar karakter yang ditanamkan dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM), yaitu: (1). Cinta Tuhan dan segenap ciptaaan-Nya. (2). Kemandirian dan tanggungjawab. (3). Kejujuran/amanah, diplomatis. (4). Hormat dan santun. (5). Dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama. (6). Percaya diri dan pekerja keras. (7). Kepemimpinan dan keadilan. (8). Baik dan rendah hati. (9). Toleransi, kedamaian, dan kesatuan (Ratna Megawangi, 2009: 93).

 

Model dalam Diri Rasulullah

Ada hal penting yang mungkin luput dari perhatian kita selama ini tentang PK, yaitu masalah model. Model tersebut penting untuk dijadikan acuan agar PK tidak jatuh ke dalam kubangan krisis identitas dan pencarian yang tidak pernah selesai.

Krisis identitas dan pencarian itulah yang terjadi dalam praktik pendidikan Barat. Berbagai pakar PK dan Pendidikan Holistik pada era posmodern seperti Thomas Lickona, Ron Miller, John Miller, dan Scott H Forbes tidak pernah membahas siapa sosok yang bisa dijadikan model karakter. Sosok-sosok seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Jean Jacques Rousseau, John Dewey, Montessori, dan Pestalozzi pun tidak pernah dijadikan model karakter oleh manusia Barat. Meskipun para ilmuwan tersebut sering berbicara tentang masalah nilai, moral, etika, dan karakter.

Bahkan, sosok Nabi Isa sekalipun tidak pernah menjadi model utama manusia Barat. Terlebih lagi, agama Kristen telah mengalami westernisasi. Teologi, ritual, dan simbol-simbol agama Kristen telah menjadi Barat.  Ia telah bercampur dengan berbagai mitos dan budaya masyarakat Barat. Agama Kristen pun kemudian berubah menjadi Barat. Proses westernisasi tersebut terjadi karena proses sekularisasi yang terjadi dalam seluruh lini kehidupan manusia Barat—termasuk sekularisasi karakter.

Dalam Islam dan Sekularisme (2010: 119), Al-Attas menjelaskan, karena tidak memiliki model, manusia Barat akhirnya jatuh ke dalam tragedi dan krisis identitas. Tiga generasi manusia Barat—muda, setengah baya, dan tua—tidak menjadikan satu dengan lain sebagai teladan hidup. Akibatnya, manusia Barat akan selamanya disibukkan oleh pencarian identitas dan makna hidup. Setiap generasi tidak puas dengan nilai-nilai hidupnya yang terus berevolusi hingga akhirnya menemukan ketidaksesuaian pada diri mereka sendiri. Hal tersebut ditambah dengan krisis identitas gender yang melanda masyarakat Barat. Kondisi inilah yang kemudian menyebabkan kezaliman (zulm).

Al-Attas kemudian menjelaskan bahwa fenomena di atas—yang kemudian diaplikasikan ke dalam praktik pendidikan—dikarenakan peradaban Barat tidak memiliki Realitas tunggal yang bertugas untuk menentukan pandangannya, tidak memiliki kitab tunggal yang absah untuk membimbing kehidupan, dan tidak ada seorang manusia pembimbing yang kata-kata, perbuatan, dan seluruh kehidupannya bisa ditiru dan dijadikan teladan.

Berbeda dengan Islam, seorang Muslim tidak akan mengalami tragedi, krisis nilai, dan krisis identitas yang dialami oleh manusia Barat. Hal tersebut karena Islam telah memberikan model dan pola yang bisa dijadikan rujukan oleh setiap Muslim, yaitu Rasulullah.

Rasulullah adalah sosok yang hidup dalam kehidupan umat Islam. Setiap hari nama beliau selalu disebut oleh seluruh umat Islam di seluruh dunia. Umat Islam senantiasa mendoakan beliau dan keluarga beliau. Bahkan, Allah dan para malaikat pun memberikan shalawat kepada beliau. Kehidupan sehari-hari beliau, dari hal-hal yang paling kecil sampai hal-hal paling besar, selalu menjadi cermin kehidupan umat Islam sepanjang masa. Beliau benar-benar hidup dalam kehidupan sehari-hari umat Islam. Beliau adalah teladan untuk anak kecil, remaja, setengah baya, dan orang tua. Inilah yang telah ditegaskan oleh Allah bahwa Rasulullah adalah teladan terbaik (uswah hasanah) bagi umat manusia. Allah Swt. berfirman, Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (QS Al-Azhzab: 21).

Rasulullah yang dijadikan sebagai model utama itulah yang kemudian diaplikasikan dalam praktik pendidikan Islam. Institusi-institusi pendidikan seperti al-jami’ah (universitas/tempat universal), al-jami’ (masjid), maktab (institut), madrasah (college), bait al-hikmah (perpustakaan), dar al-‘ulum (pusat sains), majalis (majelis), dan zawiyah (tempat para sufi) adalah tempat-tempat pendidikan yang menjadikan Rasulullah sebagai model. Karena menjadikan Rasulullah sebagai model, tujuan yang dicapai dalam pendidikan Islam adalah untuk membentuk insan kamil (manusia universal).

Anak didik alumnus institusi-institusi pendidikan seperti itu kemudian mampu menjadi ilmuwan dunia yang sangat tangguh. Seberat apa pun muatan “kognitif” (headstart) pelajaran yang dipelajari oleh para ulama, akhlak mereka tidak pernah tercela (heartstart). Ilmu dan amal menjadi pola hidup mereka sehari-hari. Akibatnya, ilmuwan-ilmuwan tersebut tidak pernah mengalami split personality. Biografi hidup mereka penuh dengan nilai-nilai luhur dan masih hidup sampai zaman sekarang—sebagaimana bisa kita baca dalam buku-buku biografi seperti tarajum, thabaqat, tarikh, dan sirah. Hal tersebut karena mereka menjadikan Rasulullah sebagai anutan hidup.

Karena menjadikan Rasulullah sebagai model, para ilmuwan Muslim pun kemudian menjadi generasi yang meneruskan risalah kenabian. Hal inilah yang telah disabdakan oleh Rasulullah, bahwa para ulama adalah pewaris para nabi.

Sejatinya, praktik pendidikan Islam—sebagaimana tercermin dalam dunia pesantren—adalah praktik pendidikan yang jelas. Hal tersebut karena kejelasan model yang dijadikan anutan dan target dalam pendidikan. Bahkan, jika kita kaitkan dengan Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional—yang bertujuan untuk membentuk manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab—sekalipun, pendidikan Islam memiliki sosok yang bisa dijadikan model nilai-nilai yang ada dalam Undang Undang tersebut. Dengan demikian, karena memiliki model, anak didik yang lahir dari pendidikan Islam adalah anak didik yang harus memiliki karakter dan akhlak mulia. Persis seperti sosok Rasulullah yang menjadi model dan teladan hidup umat Islam. Wallahu a’lam bish-shawwab